Senin, 11 Maret 2013

Pendidikan; Sejatinya Mencakup Aspek Psikologis Dan Spiritual Anak

taqiudin

Oleh Muhammad Taqiyuddin
(Mahasiswa Pendidikan Matematika FPMIPA UPI)

“… Saya bertanya kepada Mr. Masaki Sato (expert JICA dari Jepang) di satu kesempatan seminar, “Di mata Anda, apa bedanya pendidikan di Indonesia dan Jepang?”, dengan agak sungkan ia menjawab, “Mungkin, di Jepang sedikit teorinya tapi banyak prakteknya, di Indonesia malah terjadi hal yang sebaliknya.”
Sapa’at, Asep. 2012. Stop Menjadi Guru!. Jakarta: Redaksi Tangga Pustaka
“… Namun, si ibu lupa, sekolah hanya mengisi sekitar 30% dari ruang belajar anak. Dengan demikian, sekalipun mendapat nilai 10 dari sekolah, kalau nilai pendidikan dari orang tua dan lingkugan nol, anak hanya mendapat niai setara 3,3. …”
Kasali, Rhenald. Kurikulum Orang Tua untuk Anak. Kompas selasa 5 Maret 2013
Melihat pernyataan yang diungkapkan oleh Mr. Masaki Sato, malu rasanya melihat pendidikan bangsa ini yang tidak maju-maju meskipun umurnya sebentar lagi seabad tepat pada tahaun 2045. Teralu sering kurikulum kita ganti. Mulai dari 1994, KBK, KTSP, sekarang malah ganti lagi kurikulum 2013. Lantas, bagaimana hasilnya? Nampaknya kurang memuaskan. Seringnya kurikulum diganti ini menunjukkan ketidak matangan konten kurikulum tersebut, dan kurang yakinnya kita terhadap kurikulum itu sendiri.
Banyak materi dalam pembelajaran yang digonta ganti, ditukar tempat, sebagai akibat digonta-gantinya kurikulum membuat kebanyakan guru merasa agak bingung. Dan kadang-kadang kita sebagai masyarakat Indonesia bertanya-tanya mengapa hampir setiap kali ganti menteri pendidikan, ganti pula kurikulumnya? Memangnya ini proyek?
Banyak materi, tapi kurang praktek dipikir telah menjadi penyebab pendidikan Indonesia tak maju-maju. Baik itu praktek di sekolah maupun praktek dalam kehidupan nyata. Karena materi-materi yang telah terekam di memori otak anak didik secara perlahan akan segera terhapus seiring tak pernah diulang dan dipraktekkan dalam kehidupan nyata.
Bila dipikir, pengetahuan atau ilmu yang telah kita peroleh, tidak akan berarti bila tanpa praktek nyata. Seperti kata maqolah arab “al ilmu bila amalin kasysyajari bila tamarin” yang berarti, ilmu tanpa amal itu bagai pohon tak berbuah. Karena sejatinya ilmu dipelajari itu untuk dipraktekkan guna merubah keadaan disekitar kita. Bukan sebaliknya kita yang akan terus diubah lingkungan karena kita tidak mau mengubah sesuai dengan ilmu yang kita dapat.
Ilmu yang kita miliki hanya akan menjadi setumpuk pengetahuan yang tak berguna, sekali lagi, jika kita tak mempraktekannya. Coba pikir, jika kita mempelajari cara memainkan gitar hanya dengan mempelajari teorinya yaitu dengan memahami dan menghafal seluruh kunci gitar atau chord dan letak-letaknya tanpa pernah mempraktekannya. Dan hanya omong kosong belaka, jika lantas kita menganggap diri kita sudah mampu bermain gitar hanya dengan sekedar tahu aturan mainnya tanpa pernah mempraktekannya. Karena sesungguhnya kesulitan akan  segera kita dapati ketika kita memulai belajar memetik senar-senar gitar, kita harus tahu kapan kita harus berpindah dari satu kunci ke kunci yang lain, juga bagaimana mengsingkronkan tempo petikan dengan tempo lagu. Praktek, pada kenyataannya akan menjadi tidak semudah seperti yang kita bayangkan.
Lantas apa yang harus kita lakukan untuk menindak lanjuti keadaan bangsa ini yang sudah bertahun-tahun bahkan hampir seabad hidup dalam kemerdekaan, tapi masih begini-begini saja. Pendidikan kita kurang bisa memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi kemajuan bangsa ini secara menyeluruh. Terbukti dengan kenyataan bahwa sampai sekarang negara kita masih menjadi negara yang berkembang, belum pernah sekalipun maju. Mungkinkah karena kita masih merasa nyaman pada keadaan ynag seperti ini? Sudah merasa puas dengan keadaan yang ada? Seharusnya kita harus bersyukur terhadap apa yang telah ada. Karena sesungguhnya bersyukur adalah mengolah nikmat yang ada agar menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat. Bukan sebatas hanya menikmatinya tanpa memikirkan kedepan bagaimana. Seperti kata orang Sunda “engke kumaha?”
Pertama, kita sebagai personal atau perseorangan haruslah menyadari bahwa kemajuan bangsa ini akan terwujud jikalau sebagian besar warganya sudah menyadari akan pentingnya peranan mereka secara personal maupun kelompok bagi terwujudnya Indonesia yang maju. Tentunya hal ini akan bisa terwujud jika kita secara pribadi mampu meningkatkan kualitas pendidikan kita. Untuk hal ini, Tidak ada yang dapat menjamin kesuksesan kita kecuali diri kita sendiri. Seperti kata anonim. No one can guarantee your succes except your self.
Kedua adalah pentingnya peran orang tua. Orang tua adalah orang terdekat dengan kita setelah kita sendiri. Maka kehidupan kita pada kenyataannya dominan dipengaruhi oleh peranan orang tua. Maka mau tidak mau orang tua harus memahami arti pendidikan secara utuh. Bahawa pendidikan itu tidak sekedar untuk mengejar nilai tingg di kelas, tidak sekedar mendapat peringkat satu di sekolah, dan bukan hanya sekedar memahami dan mengahafal setumpuk rumus Matematika dan fisika.
Pendidikan itu sejatinya juga mencakup aspek psikologis dan spiritual anak. Keduanya akan bisa tercapai jika orang tua paham akan hal itu, dan secara sadar mendorong anaknya untuk meningkatkan kedua aspek tersebut, baik itu dengan memberikan contoh-contoh nyata dalam perbuatan ataupun melibatkannya dalam proses interaksi sosial dengan lingkungan. Hal ini akan penting karena yang nanti dihadapi anak bukanlah soal Matematika, yang membutuhkan pemahaman tentang bermacam rumus saja, tapi yang akan dihadapinya adalah masalah masalah yang berkaitan dengan masyarakat secara luas, baik itu masalah sosial, politik, dan lain-lain yang membutuhkan kecakapan berkomunikasi dan juga pengalaman terjun di dalam kehidupan nyata.
Opini dalam Kompas, selasa 5 Maret 2013, yang ditulis oleh Rhenald Kasali (guru beasar FEUI) yang berjudul “Kurikulum Orang Tua untuk Anak” yang kurang lebih berpendapat selain kementrian pendidikan harusnya terus memperbaiki kelemahan-kelemahan kurikulum yang dirancangnya, orang tua hendaknya turut mengisi kekurangan pada anak-anaknya, hendaknya juga perlu diperhatikan oleh para orang tua.
Pada akhirnya, jangan hanya terus menyalahkan pemerintah, namun kita juga harus memberikan kontribusi bagi kemajuan pendidikan bangsa kita, baik itu sebagai guru, orang tua, murid, mahasiswa, pengusaha, pegawai pemerintah dan masyarakat biasa. Karena kemajuan pendidikan Indonesia akan terwujud jika semua pihak berkontribusi untuk ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari Budayakan Berkomentar yang Baik, Sopan, dan Ramah, Sesuai Budaya Indonesia.

WENDA ALIFULLOH Produksi 2021