Matematika dalam konteks apapun sangat
penting bagi perkembangan sumber daya manusia yang berkualitas, baik itu
matematika yang diperoleh melalui pembelajaran otodidak dalam kehidupan maupun
melalui lembaga formal seperti sekolah. Menyadari pentingnya pembelajaran
matematika di sekolah, pemerintah sebagai pelaku kebijakan terhadap pendidikan
formal melalui Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS (Sistem
Pendidikan Nasional) pasal 37 menegaskan bahwa mata pelajaran matematika
merupakan salah satu mata pelajaran wajib bagi siswa pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah.
Pentingnya seseorang dalam belajar
matematika tidak lepas dari kehidupan sehari-sehari, misalnya berbagai gagasan
yang diutarakan melalui bahasa matematik maupun berbagai persoalan yang dapat
diselesaikan dengan merubah kedalam bentuk model matematika. Diluar hal
tersebut, seseorang yang mempelajari matematika akan terbiasa berfikir
sistematis, logis, kritis dan ilmiah serta kreativ. Tujuan pembelajaran
matematika di sekolah menurut kurikulum KTSP (BSNP, 2006), antara lain :
1.
Memahami
konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan
konsep secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.
2.
Mengguanakan
penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat
generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan
matematika.
3.
Memecahkan
masalah yang meliputi memahami masalah, merancang model matematik,
menyelesaikan model, dan menafsirakn solusi.
4.
Mengkomunikasikan
gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5.
Memiliki
sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, sikap rasa ingin tahu,
perhatian, dan minat dalam memperlajari matematika, serta sikap ulet dan
percaya diri dalam pemecahan.
Pemahaman terhadap konsep matematis
merupakan salah satu tujuan dari pembelajaran matematika di sekolah. Selain itu
NCTM (2000) menyatakan bahwa visi dari matematika sekolah adalah berdasarkan
pada pembelajaran matmatika siswa yang disertai dengan pemahaman. Bransford,
Brown, dan Cocking (NCTM, 2000) memaparkan belajar matematika dengan disertai
pemahaman juga merupakan komponen terpenting dari kemampuan, bersama dengan
kecakapan pengetahuan fktual dan prosedural. Belajar matematika dengan disertai
pemahaman sangat diperlukan untuk memungkinakan siswa menyelesaikan masalah
yang lain yang akan mereka hadapi di masa yang akan datang (NCTM, 2000).
Namun pentingnya pemahaman yang telah
dipaparkan sebelumnya, tidak sejalan dengan keampuan pemahaman matematis yang
telah dicapai siswa saat ini dan hal ini terlihat dari beberapa hasil
penelitian terdahulu. Pada penelitian yang dilakukan oleh Afrilianto (2012)
diperoleh hasil rata-rata postest kemampuan pemahaman matematis siswa SMP
dengan pendekatan metaphorical thinking,
yaitu sebesar 50,75% dari skor ideal. Begitupun hasil penelitian yang dilakukan
oleh Reziyistikha (2012) menunjukan bahwa hasil rata-rata skor postest
kemampuan pemahaman matamatis sisw SMP melalui pendekatan open ended dengan pembelajaran kooperatif tipe co-op co-op adalah sebesar 47,5% dari
skor ideal. Kemudain penenelitian yang dilakukan oleh Rahman (2012) diperoleh
hasil rata-rata skor postest kemampuan pemahaman matematis siswa SMP dengan
pendekatan induktif-deduktif adalah sebesar 45,3% dari skor ideal.
Selain dari hasil
penelitian-penelitian tersebut, kemampuan pemahaman matematis siswa Indonesia
dapat diketahui dari hasil survei kemampuan yang dilakukan oleh Programme for International Student
Assesment (PISA) Pada tahun 2009 dan The
Trends in International Student Mathematics adn Science Study (TIMSS) pada
tahun 2011. Kedua lembaga tersebut (PISA dan TIMSS) merupakan lembaga dunia
yang meenyelenggarakan survei melalui tes yang salah satunya ditujukan untuk
pelajar setingkat SMP yang telah dipilih secara acak dari setiap negara. PISA
2009 diikuti oleh 65 negara dan TIMSS 2011 diikuti oleh 45 negara.
Hasil PISA 2009 menunjukan bahwa skor
rata-rata matematika siswa Indonesia adalah 371, dengan skor rata-rata dunia
sebesar 496. PISA bertujuan untuk mengukur kemampuan matemis, yag dedefinisikan
sebagai kemampuan sisw auntuk merumuskan, menggunakan dan menginterpretasikan
matematika dalam berbagai konteks matematika, meliputi penelaran matematis dan
penggunaan konsep matematis, prosedur, fakta, alata untuk menggambarkan,
menjelaskan dan memprediksi fenomena (Cheung, 2012). Perbandingann tingkat kecakapan
matamatis siswa Indonesia dengan siswa Thailan pada PISA 2009 dapat dilihat
pada gambar berikut :
Gambar
1.1
Perbandingan
Persentase Siswa Indonesia dan Siswa Thailand ditinjau dari Perbedaan Tingkat
Kecakapan Matematis (OECD, 2010)
Gambar 1.1 menunjukan bahwa kemampuan
kecakapan matematis sebagian besar siswa Indonesia berada di level 1, artinya
siswa Indonesia hanya mampu menyelesaikan persolan matematika pada konteks yang
sederhana. Mereka akan menemui kesulitan ketika menghadapi soal-soal yang lebih
rumit.
Hasil TIMSS 2011 menyebutkan bahwa
skor rata-rata matematika siswa di Indonesia adalah 386, dengan rata-rata skor
internasional adalah sebesar 500. Salah satu dari standar internasional TIMSS
2011 mengenai prestasi matematika yaitu siswa dapat mengaplikasikan pemahaman
dan pengetahuan mereka dalam berbagai situasi yang kompleks (Mullis, Martin,
Foy, dan Arora, 2012).
Selain itu hasil TIMSS 2011 juga
menunjukan kinerja siswa Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan kinerja
siswa Thailand dan nilai International
Median pada standar inetrnasional TIMSS 2011, hanya sekotar 43% siswa
Indonesia yang memenuhi low benchmark. Perbandingan kinerja (performance) siswa Indonesia dengan
siswa Thailand pada TIMSS 2011 dapat dilihat pada Tabel 1.1
Tabel
1.1
Perbandingan
Persentase Pencapaian Siswa Indonesia dan Thailand pada Standar Intenasional
TIMSS 2011 mengenai Prestasi Matematika kelas 8
Beberapa faktor penyebab dari
rendahnya kemampuan pemahaman matematis siswa Indonesia, anatara lain adalah
siswa terbiasa mempelajari konsep dan rumus-rumus matematika dengan cara
menghafal tanpa memahami maksud, isi, dan keunaannya. Mereka hanya fokus pada
kerterampilan berhitung seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian
sejumlah bilangan (Reys dalam Effendi, 2010). Faktor lainnya yaitu kebanyakan
siswa memahami konsep matematis yang baru tanpa disasari pemahaman mengenai
konsep matematis sebelumnya. Kondisi tersebut bertentangan dengan hakikat
matematika, yaitu bahwa matematika adalah suatu ilmu yang hierarki, dimana
terdapat keterkaitan antara satu konsep dengan
konsep lainnya. Pemahaman konsep yang baik membutuhkan komitmen siswa
dalam memilih belajar sebagai suatu yang bermakna, lebih dari hanya menghafal,
yaitu membutuhkan kemauan siswa mencari hubungan konseptual antara pengetahuan
yang dimiliki dengan yang sedang dipelajari dalam kelas (Dahar dalam
Situmorang, 2012).
Herman (n.d) menjelaskan bahwa siswa
membangun pengetahuannya melalui konstruksi-konstruksi pemahamannya yang
diperoleh melalui proses belajar atau pengalaman. Jika siswa mendapat hal baru
maka persepsi dan konsep lama yang telah ada akan mengklarifikasi apakah hal
baru itu dapat diterima sebagai konsep yang baru. Proses pengkonstruksian ini
akan lebih cepat jiak siswa saling berbagi pengetahuan dan gagasan yang
dimiliki dengan temannya. Kegiatan tersebut dapat dilakukan melaui penerapan
model pembelajaran yang menekankan pada pembelajaran berbasis kenyataan yang
dialami siswa, sehingga setiap materi yang dipelajari akan ditemukan dalam
kehidupan nyata dan dapat menimbulkan interaksi antarsiswa karena keadaan yang
nyata yang dialami siswa.
Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) adalah
suatu teori pembelajaran dalam pendidikan matematika yang berdasarkan pada ide
bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan matematika harus dihubungkan
secara nyata terhadap konteks kehidupan sehari-hari siswa sebagai suatu sumber
pengembangan dan
sebagai area aplikasi melalui proses matematisasi baik horizontal maupun
vertikal.
Model
pembelajaran RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di
Belanda sejak tahun 1970 oleh Institut Freudenthal dan menunjukan hasil yang
baik, berdasarkan hasil The Third International Mathematics and Science
Study (TIMSS) tahun 2000. Menurut Freudenthal, aktivitas pokok yang
dilakukan dalam RME meliputi.
a. Menemukan
masalah-masalah atau soal-soal kontekstual (looking for problems).
b. Memecahkan
masalah (problem solving).
c. Mengorganisasikan
bahan ajar (organizing a subject matter).
Hal ini dapat berupa realitas-realitas yang perlu
diorganisasikan secara matematis dan juga ide-ide matematika yang perlu
diorganisasikan dalam konteks yang lebih luas. Kegiatan pengorganisasian ini
disebut matematisasi.
Pada RME siswa belajar
mematematisasi masalah-masalah kontekstual. Dengan kata lain, siswa
mengidentifikasi bahwa soal kontekstual harus ditransfer ke dalam soal bentuk
matematika untuk di pahami lebih lanjut, melalui penskemaan, perumusan, dan
pemvisualisasian. Hal tersebut merupakan proses matematisasi horizontal.
Selanjutnya dilakukan matematisasi vertikal, yakni siswa
menyelesaikan bentuk matematika dari soal kontekstual dengan menggunakan
konsep, operasi dan prosedur matematika yang berlaku dan dipahami siswa
(Armanto, 2001 : 43).
Jadi
pada langkah matematisasi horizontal berangkat dari permasalahan dunia nyata
ditarik masuk ke dalam dunia simbol. Sedangkan dalam matematisasi vertikal
adalah proses pelaksanaan pemecahan masalah-masalah dalam bentuk simbol-simbol
matematika sesuai prosedur matematika. RME ini mengacu pada pendapat
Freudenthal yang mengatakan bahwa “Matematika harus dikaitkan dengan realita
dan matematika merupakan aktivitas manusia”. Ini berarti matematika harus dekat
dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. (dalam Depdiknas,
1994 : 21) mengatakan bahwa “Matematika sebagai aktivitas manusia berarti
manusia harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep
matematika dengan bimbingan orang dewasa”. Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan
berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini
dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat
dibayangkan oleh para siswa (Depdiknas, 2000: 34). Prinsip penemuan kembali
dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informasi, sedangkan proses
penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.
Dua jenis matematisasi diformulasikan (Depdiknas,
1991 : 25), yaitu matematisasi horizontal dan vertikal.
Contoh matematisasi horizontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan
pemvisualisasian masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian
masalah dunia riil ke masalah matematika. Contoh dari matematisasi vertikaladalah
representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model
matematik, penggunaan model-model yang berbeda, dan penggeneralisasian. Kedua
jenis matematisasi ini mendapat perhatian seimbang, karena kedua matematisasi
ini mempunyai nilai sama (Depdiknas, 2000 : 17).
Proses pembelajaran matematika tidak terbatas pada keterampilan
mengerjakan soal saja sebagai bentuk aplikasi dari konsep-konsep yang telah
dipelajarinya,melainkan perlu untuk lebih mementingkan pemahaman pada proses
terbentuknya suatu konsep sehingga siswa tidak hanya menghafal
informasi-informasi yang diterima, tetapi juga harus memahami dan mengerti
secara kesluruhan dan sekaligus menguasai informasi tersebut.
Namun kenyataannya, masih banyak siswa
yang menganggap bahwa pelajaran matematika sebagai suatu pelajaran yang sulit,
dianggap menyeramkan , membuat jenuh bagi siswa yang kurang menyikai pelajaran
tersebut. Hal ini dissebabkan karena karakteristik dalam matematika bersifat
abstrak sehingga menyebabkan sisw amengalami kesulitan dalam belajar matematika
dan membuat siswa malas, tidak berminat untuk belajar matematika. Jika kondisi
ini terus berlanjut dalam jangka panjang maka tentu saja akan mempengaruhi
emosi siswa terhadap pelajaran matematika.
Citra tentang sulitnya belajar
matematika akan menumbuhkan perasaan takut berlebihan sehingga dapat
menyebabkan kecemasan pada diri siswa ketika mereka harus berhadapan dengan
matematika itu sendiri.
Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Fardhana (2004) yang menyatakan bahwa faktor yang memberikan
kontribusi besar terhadap kecemasan siswa SLTP Surabaya pada matematika adalah
materi pelajaran yang dianggap sulit (53%), fasilitas yang kurang memadai
(26%), cara mengajar guru yang sulit dipahami (23%) dan karakter guru yang
galak (6%).
Dari pemaparan tersebut tentulah
seorang guru haruslah mampu menyampaikan materi matematika dengan baik kepada
anak didiknya, sehingga prespektif negatif terhadap matematika yang selama ini
melekat pada siswa dapat berubah menjadi kesan yang positif.
Pembelajaran yang menyenangkan
menuntut adanya kebebasan pembelajaran sehingga peserta didik dapat
mengungkapkan makna sebagai hasil dari interpretasinya terhadap segala sesuatu
yang ada di dunia nyata. Sedangkan pembelajaran bermakna (meaningfull learning) merupakan suatu proses dikaitkannya informasi
baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang
(Trianto, 2007)
Berdasarkan hal diatas, pebelajaran
matematika di kelas dapat ditekankan pada keterkaitan antara konsep-konsep
matematika dengan pengalaman sehari-hari anak. Salah satu pembelajaran yang
berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematics of everyday experience) adalah Realistic Mathematics Education (RME) atau yang di Indonesia
dikenal dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PRMI).
Pada RME pola pikir siswa dikembangkan
dari hal-hal yang bersifat konkrit menuju hal yang abstrak. Aktivitas belajar
dilakukan melalui peragaan-peragaan, dan perabaan. Alat peraga berfungsi untuk
menjembatani proses abstraksi dari hal yang bersifat sederhana dan konkrit menuju
pengetahuan matematika formal dan baku oleh siswa sendiri.
Berdasarkan pemaparan tersebut yang
menjadi salah satu masalah dalam pendidikan matematika tersebut, dimana masih
banyak siswa yang mengalami krisis pemahaman terhadap matematika yang dipengaruhi
oleh kecemasan dalam belajar matematika, maka penulis tertarik untuk meneliti
tentang “Pengaruh Model Pembelajaran Realistik Terhadap Kemampuan Pemahaman
Matematis dan Kecemasan Matematika Siswa SMP”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari Budayakan Berkomentar yang Baik, Sopan, dan Ramah, Sesuai Budaya Indonesia.