Jumat, 26 Desember 2014

Model Pembelajaran Matematika Tipe Realistik Guna Meningkatkan Pemahaman Matematis Siswa dan Mengurangi Kecemasan Matematika Siswa



          Matematika dalam konteks apapun sangat penting bagi perkembangan sumber daya manusia yang berkualitas, baik itu matematika yang diperoleh melalui pembelajaran otodidak dalam kehidupan maupun melalui lembaga formal seperti sekolah. Menyadari pentingnya pembelajaran matematika di sekolah, pemerintah sebagai pelaku kebijakan terhadap pendidikan formal melalui Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional) pasal 37 menegaskan bahwa mata pelajaran matematika merupakan salah satu mata pelajaran wajib bagi siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
          Pentingnya seseorang dalam belajar matematika tidak lepas dari kehidupan sehari-sehari, misalnya berbagai gagasan yang diutarakan melalui bahasa matematik maupun berbagai persoalan yang dapat diselesaikan dengan merubah kedalam bentuk model matematika. Diluar hal tersebut, seseorang yang mempelajari matematika akan terbiasa berfikir sistematis, logis, kritis dan ilmiah serta kreativ. Tujuan pembelajaran matematika di sekolah menurut kurikulum KTSP (BSNP, 2006), antara lain :
1.      Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep secara luwes, akurat, efisien, dan tepat dalam pemecahan masalah.
2.      Mengguanakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3.      Memecahkan masalah yang meliputi memahami masalah, merancang model matematik, menyelesaikan model, dan menafsirakn solusi.
4.      Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain  untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5.      Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, sikap rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam memperlajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan.

          Pemahaman terhadap konsep matematis merupakan salah satu tujuan dari pembelajaran matematika di sekolah. Selain itu NCTM (2000) menyatakan bahwa visi dari matematika sekolah adalah berdasarkan pada pembelajaran matmatika siswa yang disertai dengan pemahaman. Bransford, Brown, dan Cocking (NCTM, 2000) memaparkan belajar matematika dengan disertai pemahaman juga merupakan komponen terpenting dari kemampuan, bersama dengan kecakapan pengetahuan fktual dan prosedural. Belajar matematika dengan disertai pemahaman sangat diperlukan untuk memungkinakan siswa menyelesaikan masalah yang lain yang akan mereka hadapi di masa yang akan datang (NCTM, 2000).
          Namun pentingnya pemahaman yang telah dipaparkan sebelumnya, tidak sejalan dengan keampuan pemahaman matematis yang telah dicapai siswa saat ini dan hal ini terlihat dari beberapa hasil penelitian terdahulu. Pada penelitian yang dilakukan oleh Afrilianto (2012) diperoleh hasil rata-rata postest kemampuan pemahaman matematis siswa SMP dengan pendekatan metaphorical thinking, yaitu sebesar 50,75% dari skor ideal. Begitupun hasil penelitian yang dilakukan oleh Reziyistikha (2012) menunjukan bahwa hasil rata-rata skor postest kemampuan pemahaman matamatis sisw SMP melalui pendekatan open ended dengan pembelajaran kooperatif tipe co-op co-op adalah sebesar 47,5% dari skor ideal. Kemudain penenelitian yang dilakukan oleh Rahman (2012) diperoleh hasil rata-rata skor postest kemampuan pemahaman matematis siswa SMP dengan pendekatan induktif-deduktif adalah sebesar 45,3% dari skor ideal.
          Selain dari hasil penelitian-penelitian tersebut, kemampuan pemahaman matematis siswa Indonesia dapat diketahui dari hasil survei kemampuan yang dilakukan oleh Programme for International Student Assesment (PISA) Pada tahun 2009 dan The Trends in International Student Mathematics adn Science Study (TIMSS) pada tahun 2011. Kedua lembaga tersebut (PISA dan TIMSS) merupakan lembaga dunia yang meenyelenggarakan survei melalui tes yang salah satunya ditujukan untuk pelajar setingkat SMP yang telah dipilih secara acak dari setiap negara. PISA 2009 diikuti oleh 65 negara dan TIMSS 2011 diikuti oleh 45 negara.
          Hasil PISA 2009 menunjukan bahwa skor rata-rata matematika siswa Indonesia adalah 371, dengan skor rata-rata dunia sebesar 496. PISA bertujuan untuk mengukur kemampuan matemis, yag dedefinisikan sebagai kemampuan sisw auntuk merumuskan, menggunakan dan menginterpretasikan matematika dalam berbagai konteks matematika, meliputi penelaran matematis dan penggunaan konsep matematis, prosedur, fakta, alata untuk menggambarkan, menjelaskan dan memprediksi fenomena (Cheung, 2012). Perbandingann tingkat kecakapan matamatis siswa Indonesia dengan siswa Thailan pada PISA 2009 dapat dilihat pada gambar berikut :


Gambar 1.1
Perbandingan Persentase Siswa Indonesia dan Siswa Thailand ditinjau dari Perbedaan Tingkat Kecakapan Matematis (OECD, 2010)
          Gambar 1.1 menunjukan bahwa kemampuan kecakapan matematis sebagian besar siswa Indonesia berada di level 1, artinya siswa Indonesia hanya mampu menyelesaikan persolan matematika pada konteks yang sederhana. Mereka akan menemui kesulitan ketika menghadapi soal-soal yang lebih rumit.
          Hasil TIMSS 2011 menyebutkan bahwa skor rata-rata matematika siswa di Indonesia adalah 386, dengan rata-rata skor internasional adalah sebesar 500. Salah satu dari standar internasional TIMSS 2011 mengenai prestasi matematika yaitu siswa dapat mengaplikasikan pemahaman dan pengetahuan mereka dalam berbagai situasi yang kompleks (Mullis, Martin, Foy, dan Arora, 2012).
          Selain itu hasil TIMSS 2011 juga menunjukan kinerja siswa Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan kinerja siswa Thailand dan nilai International Median pada standar inetrnasional TIMSS 2011, hanya sekotar 43% siswa Indonesia yang memenuhi low benchmark. Perbandingan kinerja (performance) siswa Indonesia dengan siswa Thailand pada TIMSS 2011 dapat dilihat pada Tabel 1.1

Tabel 1.1



Perbandingan Persentase Pencapaian Siswa Indonesia dan Thailand pada Standar Intenasional TIMSS 2011 mengenai Prestasi Matematika kelas 8



          Beberapa faktor penyebab dari rendahnya kemampuan pemahaman matematis siswa Indonesia, anatara lain adalah siswa terbiasa mempelajari konsep dan rumus-rumus matematika dengan cara menghafal tanpa memahami maksud, isi, dan keunaannya. Mereka hanya fokus pada kerterampilan berhitung seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian sejumlah bilangan (Reys dalam Effendi, 2010). Faktor lainnya yaitu kebanyakan siswa memahami konsep matematis yang baru tanpa disasari pemahaman mengenai konsep matematis sebelumnya. Kondisi tersebut bertentangan dengan hakikat matematika, yaitu bahwa matematika adalah suatu ilmu yang hierarki, dimana terdapat keterkaitan antara satu konsep dengan  konsep lainnya. Pemahaman konsep yang baik membutuhkan komitmen siswa dalam memilih belajar sebagai suatu yang bermakna, lebih dari hanya menghafal, yaitu membutuhkan kemauan siswa mencari hubungan konseptual antara pengetahuan yang dimiliki dengan yang sedang dipelajari dalam kelas (Dahar dalam Situmorang, 2012).
          Herman (n.d) menjelaskan bahwa siswa membangun pengetahuannya melalui konstruksi-konstruksi pemahamannya yang diperoleh melalui proses belajar atau pengalaman. Jika siswa mendapat hal baru maka persepsi dan konsep lama yang telah ada akan mengklarifikasi apakah hal baru itu dapat diterima sebagai konsep yang baru. Proses pengkonstruksian ini akan lebih cepat jiak siswa saling berbagi pengetahuan dan gagasan yang dimiliki dengan temannya. Kegiatan tersebut dapat dilakukan melaui penerapan model pembelajaran yang menekankan pada pembelajaran berbasis kenyataan yang dialami siswa, sehingga setiap materi yang dipelajari akan ditemukan dalam kehidupan nyata dan dapat menimbulkan interaksi antarsiswa karena keadaan yang nyata yang dialami siswa.
          Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) adalah suatu teori pembelajaran dalam pendidikan matematika yang berdasarkan pada ide bahwa matematika adalah aktivitas manusia dan matematika harus dihubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan sehari-hari siswa sebagai suatu sumber pengembangan dan sebagai area aplikasi melalui proses matematisasi baik horizontal maupun vertikal.
          Model pembelajaran RME pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970 oleh Institut Freudenthal dan menunjukan hasil yang baik, berdasarkan hasil The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2000. Menurut Freudenthal, aktivitas pokok yang dilakukan dalam RME meliputi.
a.       Menemukan masalah-masalah atau soal-soal kontekstual (looking for problems).
b.      Memecahkan masalah (problem solving).
c.       Mengorganisasikan bahan ajar (organizing a subject matter).
Hal ini dapat berupa realitas-realitas yang perlu diorganisasikan secara matematis dan juga ide-ide matematika yang perlu diorganisasikan dalam konteks yang lebih luas. Kegiatan pengorganisasian ini disebut matematisasi.
          Pada RME siswa belajar mematematisasi masalah-masalah kontekstual. Dengan kata lain, siswa mengidentifikasi bahwa soal kontekstual harus ditransfer ke dalam soal bentuk matematika untuk di pahami lebih lanjut, melalui penskemaan, perumusan, dan pemvisualisasian. Hal tersebut merupakan proses matematisasi horizontal. Selanjutnya dilakukan matematisasi vertikal, yakni siswa menyelesaikan bentuk matematika dari soal kontekstual dengan menggunakan konsep, operasi dan prosedur matematika yang berlaku dan dipahami siswa (Armanto, 2001 : 43).
          Jadi pada langkah matematisasi horizontal berangkat dari permasalahan dunia nyata ditarik masuk ke dalam dunia simbol. Sedangkan dalam matematisasi vertikal adalah proses pelaksanaan pemecahan masalah-masalah dalam bentuk simbol-simbol matematika sesuai prosedur matematika. RME ini mengacu pada pendapat Freudenthal yang mengatakan bahwa “Matematika harus dikaitkan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia”. Ini berarti matematika harus dekat dengan anak dan relevan dengan kehidupan nyata sehari-hari. (dalam Depdiknas, 1994 : 21) mengatakan bahwa “Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberi kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa”. Upaya ini dilakukan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh para siswa (Depdiknas, 2000: 34). Prinsip penemuan kembali dapat diinspirasi oleh prosedur-prosedur pemecahan informasi, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi.
Dua jenis matematisasi diformulasikan (Depdiknas, 1991 : 25), yaitu matematisasi horizontal dan vertikal. Contoh matematisasi horizontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan pemvisualisasian masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian masalah dunia riil ke masalah matematika. Contoh dari matematisasi vertikaladalah representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model yang berbeda, dan penggeneralisasian. Kedua jenis matematisasi ini mendapat perhatian seimbang, karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai sama (Depdiknas, 2000 : 17).
          Proses pembelajaran matematika tidak terbatas pada keterampilan mengerjakan soal saja sebagai bentuk aplikasi dari konsep-konsep yang telah dipelajarinya,melainkan perlu untuk lebih mementingkan pemahaman pada proses terbentuknya suatu konsep sehingga siswa tidak hanya menghafal informasi-informasi yang diterima, tetapi juga harus memahami dan mengerti secara kesluruhan dan sekaligus menguasai informasi tersebut.
          Namun kenyataannya, masih banyak siswa yang menganggap bahwa pelajaran matematika sebagai suatu pelajaran yang sulit, dianggap menyeramkan , membuat jenuh bagi siswa yang kurang menyikai pelajaran tersebut. Hal ini dissebabkan karena karakteristik dalam matematika bersifat abstrak sehingga menyebabkan sisw amengalami kesulitan dalam belajar matematika dan membuat siswa malas, tidak berminat untuk belajar matematika. Jika kondisi ini terus berlanjut dalam jangka panjang maka tentu saja akan mempengaruhi emosi siswa terhadap pelajaran matematika.
          Citra tentang sulitnya belajar matematika akan menumbuhkan perasaan takut berlebihan sehingga dapat menyebabkan kecemasan pada diri siswa ketika mereka harus berhadapan dengan matematika itu sendiri.
          Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Fardhana (2004) yang menyatakan bahwa faktor yang memberikan kontribusi besar terhadap kecemasan siswa SLTP Surabaya pada matematika adalah materi pelajaran yang dianggap sulit (53%), fasilitas yang kurang memadai (26%), cara mengajar guru yang sulit dipahami (23%) dan karakter guru yang galak (6%).
          Dari pemaparan tersebut tentulah seorang guru haruslah mampu menyampaikan materi matematika dengan baik kepada anak didiknya, sehingga prespektif negatif terhadap matematika yang selama ini melekat pada siswa dapat berubah menjadi kesan yang positif.
          Pembelajaran yang menyenangkan menuntut adanya kebebasan pembelajaran sehingga peserta didik dapat mengungkapkan makna sebagai hasil dari interpretasinya terhadap segala sesuatu yang ada di dunia nyata. Sedangkan pembelajaran bermakna (meaningfull learning) merupakan suatu proses dikaitkannya informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang (Trianto, 2007)
          Berdasarkan hal diatas, pebelajaran matematika di kelas dapat ditekankan pada keterkaitan antara konsep-konsep matematika dengan pengalaman sehari-hari anak. Salah satu pembelajaran yang berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematics of everyday experience) adalah Realistic Mathematics Education (RME) atau yang di Indonesia dikenal dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PRMI).
          Pada RME pola pikir siswa dikembangkan dari hal-hal yang bersifat konkrit menuju hal yang abstrak. Aktivitas belajar dilakukan melalui peragaan-peragaan, dan perabaan. Alat peraga berfungsi untuk menjembatani proses abstraksi dari hal yang bersifat sederhana dan konkrit menuju pengetahuan matematika formal dan baku oleh siswa sendiri.

          Berdasarkan pemaparan tersebut yang menjadi salah satu masalah dalam pendidikan matematika tersebut, dimana masih banyak siswa yang mengalami krisis pemahaman terhadap matematika yang dipengaruhi oleh kecemasan dalam belajar matematika, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang “Pengaruh Model Pembelajaran Realistik Terhadap Kemampuan Pemahaman Matematis dan Kecemasan Matematika Siswa SMP”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari Budayakan Berkomentar yang Baik, Sopan, dan Ramah, Sesuai Budaya Indonesia.

WENDA ALIFULLOH Produksi 2021