Jumat, 31 Januari 2014

CERPEN : JANJI UNTUK ADIKKU, ALMAGHFIRA !

Jumat, Januari 31, 2014


Jebrett !!!!! terdengar keras bunyi pintu yang sudah kesekian kalinya aku banting hari ini. Hari ini adalah hari liburku, ah tidak sebenarnya tidak hanya hari liburku, tapi hari libur kami. Aku yang memang sedang libur setelah Ujian semester ganjil dikelas XII SMA ini, adikku Almaghfira Lifi yang saat ini juga libur setelah ujian akhir semester ganjilnya dikelas 1 SMP. Ditambah lagi hari ini adalah hari minggu, dimana ibuku sedang tidak disibukkan dengan pekerjaan kantornya. Sedang ayahku, masih di Jawa Tengah mengurus pekerjaanya.

“Abang.. kenapa si kok ribut ?”. terdengar suara ibu lembut dari arah dapur.

  Aku diam..

  Sementara itu didepan pintu kamarku masih berdiri tertegun anak penyebab kemarahanku hingga membuatku menutup pintu kamar dengan keras. Sebenarnya agak terdengar sayup-sayup tangisannya, tapi ah sudahlah aku muak dengan dia, adikku sendiri.

“abang kenapa si ?, kan adiknya Cuma minta di ajarin matematika. Masa minta ajarin sama abangnya sendiri nggak mau..”, terdengar suara ibu lagi, kali ini terdengar di depan pintu kamarku.

“Aku capek bu, hari Libur itu ya untuk libur. Lagian Fira kan juga harusnya libur. Percuma juga belajar kalau nilainya tetap jelek !”, jawabku dengan ketus dari dalam. Terdengar semuanya diam,

“Fira, abang mungkin capek sayang, nanti saja ya belajarnya. Biar ibu yang ajarin, setelah selesai masak ya sayang”, kata ibuku lembut.. jauh lebih lembut dibandingkan padaku, padahal kami sama-sama anaknya.

“Iya bu, kalau gitu Fira bantuin ibu masak aja ya bu, Fira bantuin motong bawang atau apalah, masa sejak kecil Fira nggak di izinkan Mengerjakan pekerjaan wanita bu. Fira kan pingin belajar biar bisa jadi wanita hebat kayak ibu, Fira pingin masak buat abang dan ayah juga, sama seperti ibu”. Balas Fira lembut. Dari dalam kamarku aku dapat mendengar jelas, aku bersungut..

“Manja !! cari muka terus, udah gede juga !”, namun kali ini tak sampai terdengar keluar.

  “jangan sayang, mendingan kamu baca buku saja di kamar sana, katanya pingin pintar matematika kan ?, ibu dengar kamu pingin ikutan Olimpiade Matematika, kan ?”, jawab ibuku yang semakin membuatku kesal, dan bersungut lagi..

“dasar ibu ah.. ! kenapa harus sebegitu memanjakan Fira si, ! Kan dia juga harusnya sudah diajarkan pekerjaan rumah, nggak dimanja kayak gitu. Nggak boleh masak, nggak boleh nyuci, nggak boleh jait bajunya sendiri yang robek. Semuanya berbanding terbalik sama aku yang cowok, justru aku harus cuci baju sendiri, harus bisa memasak untuk kami, harus menjahit sendiri atribut-atribut atau bajuku saat robek. Ibu benar-benar tidak adil.”. lagi-lagi sungutan ini tak begitu keras sehingga tak terdengar sampai keluar.

“tapi bu..”, bantah Fira..

“sayang,.. kan ibu mau kamu jadi Ahli matematika, nanti ibu bujuk abang kamu untuk ajarin kamu deh,”. Ucap ibu lagi..

“Beneran ya bu..”, balas Fira lembut, selanjutnya ia meninggalkan depan kamarku. Dan ibu.. beliau mengetuk kamarku dengan agak keras.., aku membukanya..

“Mana si manja ?, udah pergi ?” kataku ketus saat membuka pintu,

“Abang.. nggak boleh gitu sama adiknya ah, kan adik satu-satunya. Masa nggak disayang.”, balas ibuku..

“Fira itu kan Adik satu-satunya kan bu ? Bukan ANAK SATU-SATUNYA ibu dan ayah ?. lalu kenapa aku merasa perlakuan yang berbeda dari ibu dan ayah ?”. balasku lagi lebih tinggi..

“Abang.. jangan gitu, kalian semua sama kok. Ayah dan ibu sama-sama sayang kalian, sekarang ibu mau minta tolong, coba donk ajarin adik kamu matematika, katanya dia ingin ikut Olimpiade matematika”, kata ibu padaku dengan lembut.

“percuma bu, bagaimana mau bisa kalau nilai-nilainya aja jelek !”, ucapku dengan nada menyindir.

“Abang, jangan gitu. Kalau abangnya saja bisa kenapa adiknya nggak bisa.. ?”, lanjut ibu..

“iya bu iya…”, kataku dengan nada malas, demi mengakhiri perdebatan ini.

Aku memang sering sekali berdebat dengan ibu tentang Fira, terutama saat Fira sudah mulai mengusikku dengan memintaku mengajarinya ini itu, eh bukan ini itu si, tepatnya hanya matematika saja., kata ibu, Fira ingin mengikuti Olimpiade Matematika.



         Jujur, aku sendiri malas untuk mengajarinya, terlebih jika aku ingat nilai-nilai diraportnya yang pas-pasan. Kecuali pelajaran matematikanya yang agak mendingan. Aku juga tak tahu kenapa absensinya begitu banyak di raport, padahal menurutku dia selalu masuk sekolah, memang si aku sering melihat dia sudah dirumah saat belum jam pulang sekolah SMP, sakit katanya. Tapi entahlah, ketidak pedulianku kepadanya ditambah Perilaku ibu dan ayah yang selalu memanjakannya membuat aku merasa tak peduli dengannya.

“Kamu harus hapalin nilai-nilai trigonometri untuk sudut-sudut istimewa ini kalau kamu mau ikut olimpiade !”, kataku ketus. Sebenarnya tujuanku memberinya hapalan agar aku tak terlalu berinteraksi dengannya. Tapi 10 menit kemudian.

“aku sudah hafal bang, Semuanya..”, katanya dengan wajah sumringah.

“Coba, Sin 0 derajat berapa !?”. tanyaku dengan keras .

“NOL Bang..”, jawabnya cepat, yang membuat ku berfikir iseng untuk membuatnya bingung dengan pertanyaan selanjutnya.

“kalau nilai Cosinus NEGATIF 90 derajat berapa ?”, tanyaku dengan senyum nakal.
Tampak dia berfikir beberapa saat, tak seperti saat menjawab Sinus 0 derajat.

“kalau nggak salah 0 Juga ya bang ?”, jawabnya.

“hemm.. abang Tanya Cosinus NEGATIF 90 derajat lho, bukan Cosinus 90 derajat!”, jawabku dengan tujuan membuatnya ragu,

“ya NOL Bang, kan aku ngafalinnya pakai pola gambar di koordinat cartesius !”. JLEB ! padahal aku tak memberikannya bocoran untuk menghafal dengan gambar, ternyata dia kepikiran untuk melakukan itu. Jujur aku mengakui adikku ini pintar. Hanya saja perlakuannya ibu dan ayah saja yang membuat aku sering gelap mata padanya.


***

                Hari ini aku sudah harus kembali masuk sekolah. Dengan riang aku segera mempersiapkan diri, batinku sebenarnya sangat senang sebab aku tak akan direpotkan dengan Fira dirumah, minimal sampai pukul 15:00 lah saat aku pulang sekolah. Ayah juga sudah pulang tadi malam, katanya beliau sakit selama di Jawa Tengah sehingga izin pulang, tak seperti biasanya memang.

“Bu, kok nggak ada sarapan ?”. kataku berteriak dari meja makan.

“maaf bang, Fira sakit sejak subuh tadi, jadi ibu tidak sempat masak. Kamu nanti sarapan diluar saja, itu uangnya ada di atas televisi udah ibu tambahin”. Kata ibu dari dalam kamar Fira. Ahh simanja berulah lagi, dan untuk kesekian kalinya aku merasakan dampaknya.

“baik bu..”, kataku sembari menyambar uang diatas Televisi, dan segera keluar menuju sekolah.

“Fira Cepat sembuh ya !”, ahh.. tiba-tiba aku berkata seperti itu pada adikku. Entah apa yang terjadi padaku. Tapi yasudah lah,

“Iya bang, makasih. Makasih udah ajarin matematika juga, nanti kalau Fira juara Olimpiade Fira sewa abang sebagai tutornya”, balasnya yang terdengar ia sedang menahan sakit. aku melanjutkan perjalananku kesekolah.

                Hari ini aku merasa sebagai hari kesialanku disekolah, bagaimana tidak. Pagi-pagi saat aku harus mencatat materi ternyata bulpointku yang seharusnya ada di tempat alat tulisku tidak ada, sampai aku ingat saat aku mengajari Fira kemarin ia membawa bulpoint itu, sehingga aku harus meminjam kepada temanku setelah dimarahi habis oleh Guru pelajaran itu. siangnya saat aku dari perpustakaan untuk meminjam buku, aku harus menanggung malu lagi, saat buku Matematika, Fisika dan Biologi yang aku pinjam diperpus terhempas bola dari arah lapangan. Dan dari ketiga buku itu Untung hanya buku matematika yang terjatuh, namun buku itu sangat tebal dan suara kerasnya membuat seluruh orang disekitarku memperhatikanku. Sampai bel pulang tanda sekolah berakhir berbunyi dan aku memasuki kelas Bimbingan Olimpiade-pun aku juga masih merasa sial. Bagaimana tidak, buku kumpulan soal yang sudah aku kerjakan dengan rapih ternyata tak kubawa dan aku yakin itu perbuatan Fira, karena hal ini sering terjadi. Aku benar-benar tak tahan dengan hari ini, sehingga aku memohon diri untuk tidak mengikuti kelas sore ini dan bergegas pulang.

                Sepanjang jalan aku sudah menyiapkan kata-kata untuk simanja Fira, karena ulahnya aku hari ini merasa sangat tidak sempurna di sekolah.

“Fira benar-benar ngacoin hari ini, pulpen di ambil, buku bimbingan diambil. Uhhh..”, kataku sepanjang jalan. Sampai tiba-tiba aku tertegun saat aku melihat didepanrumahku ada bendera kuning.

“ayah…”, aku membatin..

                Tuhan inikah sebab kenapa ayah pulang tidak seperti biasanya dan dalam keadaan sakit, ratapku dalam hati sembari tertegun. Aku segera masuk. Tampak ramai orang yang sedang melawat dirumahku. Aku sendiri sudah tak mampu menahan air mata, ah ayah walaupun kau jauh lebih sayang Fira daripada aku, tapi aku sangat menyayangimu yah.. kenapa engkau pergi begitu cepat, bahkan pagi tadi aku tak sempat cium tanganmu karena kau masih tertidur kelelahan.

“abang…”, suara ibu membuyarkan lamunanku.

“bu.. kenapa ini bu ?”, tanyaku sesegukkan.

“adik kamu sudah dipanggil lebih dulu oleh sang pencipta”, terdengar suara berat dari belakangku sembari merangkulku, ayahku.

                Ah.. ayah masih ada, dan ibu juga di hadapanku. Aku mencoba mencerna kata-kata ayah kepadaku, ‘ADIK’.. Apa ?, Fira ? Fira meninggal. Ah.. bukankah ia hanya gadis kecil yang menurutku masih memiliki usia panjang.

“yah.. bu.. Fira kenapa ?”, tanyaku semakin sesegukkan.

“ia nak, adik kamu sudah tiada..”, jawab ibu lembut sembari merangkulku.

***

                Sore ini juga Fira dimakamkan, aku, ayah dan ibu saling berpelukan di samping makan Fira. Aku sendiri tak mampu menahan air mataku ini, bagaimanapun Fira adikku, semua kesalahanku padanya muncul dalam bayangan, entahlah kenapa penyesalan selalu datang di akhir.

“yah.. bu.. memang Fira sakit apa ?”, tanyaku sembari menabur bunga di atas makam adikku satu-satunya.

“Abang, penyakitnyalah yang membuat kami harus memanjakan Fira, lebih tepatnya menjaga Fira. Kami tak ingin dia sakit sedikitpun, meskipun kami tau masa ini pasti akan tiba”, kata ibu disamping kananku.

“aku masih kurang faham bu, Fira sakit apa ?, selama ini ia baik-baik saja”. Jawabku lagi.

“Abang…” suara parau ayah menyapa. Aku tertegun seolah aku tak pantas lagi dipanggil abang, bagaimana mungkin aku dipanggil abang saat ini, saat adikku satu-satunya sudah tiada..

“abang harus tahu, dan ayah yakin abang pasti tau mengenai Hemophilia, kan ?”, kata ayah melanjutkan sapaannya.

“apa yah ? Fira terkena hemophilia ?. nggak mungkin yah.. !!!” jawabku semakin terisak.

                Ah kini aku mengerti kenapa sejak dulu Fira selalu dimanja, dia tak boleh Belajar memasak, mencuci dan menjahit. Tentu ayah dan ibu menghindari luka sekecil apaun bagi Fira, karena penyakit tersebut menyebabkan darah sukar membeku saat terjadi luka, jadi ketika ada luka sedikit saja pendarahan tidak dapat berhenti, darahnya terus keluar. Ah. Bodohnya aku yang tak berfikir itu.

“dan pagi tadi, saat adikmu mengeluh sakit, itulah masa yang tiba untuk Fira, karena sejeli apapun ibu menjaga Fira, maka Masa ini pasti datang. Adikmu cewek bang, hari ini Hait pertamanya. Ibu senang, karena kita bisa menjaga dia sampai hari ini, sampai kodratnya sebagai wanita yang membawanya kembali kepangkuan Allah, bang”. Ucap ibu sembari menangis dan mengusap punggungku.

                Ah,, ya Guruku berkata, Sekuat apapun menjaga seorang wanita hemophilia dari luka, pasti masa ini akan tiba. Masa dimana adiku Fira seharusnya memasuki usia remajanya. Ahhh ya Rabb, kenapa aku tak menyadari bahwa adiku lain. Aku terlalu menutup mata dan hatiku untuk Fira. aku tak pernah peduli kepadanya. Dan hari ini aku menyesali itu ya Allah.

“Fira.. maaafin abang Fir.. maafin…”, Ratapku keras diatas pusaranya. Ayah dan ibu pun mencoba menenangkanku, namun aku merasa aku sudah sangat berdosa sebagai abang yang tidak pernah peka terhadap adiknya,

“bang.. sabar bang, biarkan Fira tenang,. Kami sebenarnya ingin memberitahu abang tentang penyakit ini sejak lama, tapi kami takut Fira sampai dengar, jadi kami hanya merahasiakan sampai saat ini,”. Kata ayah kepadaku yang membuatku semakin sesegukan keras.

“FIRAA…. Maafin abang…”, ucapku.

                Aku menangis diatas kubur adikku, Almaghfira Lifi yang hari ini berusia 12 tahun kurang 2 bulan 4 hari. yang hari ini menginjak masa Remajanya dan masa balighnya. Adikku yang cantik, adik satu-satunya yang sangat mencintai matematika. Adikku yang penyabar bahkan jauh lebih sabar dari abangnya yang jahat ini.

                Namaku Yusuf Pradana Lifi, anak pertama dari ayahku Liando Putra dan ibuku Firsya Pratiwi. Kakak terburuk bagi adikku yang kini terbaring di pusara ini. aku beranji selepas pendidikan SMA-ku ini, aku akan kuliah mengambil jurusan yang berkaitan dengan matematika, agar aku selalu ingat Almarhumah adikku dipembaringan ini. aku berjanji..

***

                Namaku Yusuf Pradana Lifi, dan hari ini aku akan memasuki semester 2 di Jurusan Pendidikan Matematika UPI, sesuai janjiku, janji pada adik kecilku setahun lalu. Yang terbaring dengan damai ‘Almaghfira Lifi’.

“untukmu kawan yang bersaudara, sayangi mereka. Sayangi apapun yang ada dari diri mereka, mereka special untukmu. Biarkan mereka tersenyum karenamu, berbagilah dan tutup sedikit ego, agar mata dan hatimu terbuka. Semuanya istimewa.. bahkan saudaramu yang tak kau sukai itu, Allah ciptaka untuk menyempurnakan hidupmu.”

Wenda Alifulloh,
tertumbuk tertusuk duri,
melabuh menguak hati,
aku tak sempurna-Bandung 31-Januari-2014.

WENDA ALIFULLOH Produksi 2021